TEENAGE BLOG
Senin, 16 Februari 2015
CREEPY PASTA - HERE YOU GO -
On the last night of my honeymoon, my husband Ricky and I were soaking in the beach resort’s outdoor hot tub. It was December, you see, and there were maybe only five rooms occupied in the whole resort. Although the fire pit was burning hot and bright one lot over, no one but us was outside. My new husband and I felt ballsy and awesome and grown-up for braving the near-freezing temperature to relax in the hot tub.
CREEPY PASTA - LAVENDER TOWN -
Aku
bertemu teman terbaikku di sekolah dasar. Kami berdua membawa gameboy kami ke
sekolah, bermain dan duduk bersama saat makan siang. Aku mempunyai game versi
Blue dengan Venusaur sebagai Starter, sedangkan dia versi Red dengan Charizard
sebagai Starter. Aku dan dia bertanding pokemon setiap kali kita sempat dan
kami menjadi sahabat baik karenanya. Tahun demi tahun berlalu, kami terus
bermain pokemon, bahkan sampai SMU. Sepanjang semua generasi pokemon yang
pernah kami lalui, pertarungan pokemon tak pernah membuat kami bosan.
Ketika
kami lulus dari SMU, kami harus berpisah. Kami tidak berkomunikasi banyak
setelah itu karena masing-masing dari kami memiliki kehidupan yang sibuk seperti
mengikuti kuliah dan kegiatan lainnya. Aku tidak pernah berfikir kami akan
menjalin kembali persahabatan seperti dulu. Di tahun 2007, game Pokemon seri
Diamond & Pearl dirilis, dan kami kembali menikmati 2 seri baru tersebut.
Kami bertarung dan berbicara melalui Wi-Fi hampir setiap hari selama beberapa
minggu setelah game tersebut dirilis.
Temanku
mengatakan bahwa ia berencana memainkan versi lama dari game Pokemon Red,
karena sekitar 3 bulan setelah Diamond & Pearl dirilis kami sudah tidak
bermain versi D&P sebanyak saat setelah dirilis. Saat aku bertanya mengapa
ia ingin memainkan versi Red, ia menjawab, "Aku tidak tahu, mungkin aku
akan menemukan sesuatu yang belum pernah ditemukan."
Meskipun
aku enggan untuk memainkan kembali versi Blue dengan dia, ia tetap memainkan
versi Red. Setelah ia memulai perjalanannya memainkan lagi game versi Red, aku
tidak pernah berbicara dengannya lagi. Tiga minggu kemudian, aku menerima
telepon dari orang tuanya. Beliau mengatakan sahabatku telah meninggal dunia.
Meskipun tidak pernah memiliki masalah serupa, sebelum meninggal temanku itu
sering mengalami kejang intens. Sampai suatu saat, teman seasramanya menemukan
ia tergeletak di tanah, tak bernyawa , dan anehnya memakai headphone
favoritnya.
Aku
secepatnya langsung menghadiri pemakaman temanku. Teman seasramanya, yang
kebetulan menghadiri pemakamannya juga, memberitahuku bahwa beberapa hari
sebelum tragedi tersebut, temanku menjadi tergila-gila dengan Lavender Town dan
musiknya. Dari dulu, sahabatku memang bercita - cita menjadi insinyur suara
setelah lulus dan ia memang mempunyai berbagai keterampilan di bidang audio
editing.
~Flashback~
Setelah
ia menemukan kota Lavender Town, ia mengambil audionya (Lavender Theme) dan
memasukkannya ke komputer untuk mulai bereksperimen dengan itu. Menariknya, ia
membual tentang menemukan sobekan audio langka dari music Lavender Town yang
dimainkannya di versi eksklusif untuk Jepang, yaitu Pokemon Green. Ia
mengatakan pada teman seasramanya, "Frekuensi dalam lagu ini berbeda, mereka
(frekuensinya) berbaur dengan suatu cara yang khusus , tapi ada sesuatu yang
hilang."
~End Of
Flashback~
Aku
memiliki kesempatan mengecek komputernya untuk terakhir kalinya. Aku melihat
Recent Items, dan di daftar paling atas tertuliskan "Lavender.wav". Ada
juga beberapa foto kami bersama, kedua file tersebut saya salin ke Flash Drive
saya.
Diriku
masih dinaungi kesedihan atas kematian sahabat saya, hingga saya masih
mengabaikan audio tersebut (Lavender.wav) sampai beberapa minggu sebelum
menulis ini. Akhirnya aku memutuskan untuk menelusuri kembali apa yang telah
terjadi. Didorong oleh keinginanku untuk mengetahui penyebab kematiannya, aku
membuka dialog box untuk file audio, tanpa mendengarkan file audionya. Di
bagian komentar dari metadata, temanku menulis, "Nada Binaural, aku
menambahkan frekuensi yang diperlukan, aku tau mengapa kota Lavender Town
begitu sedih, dan aku tau Bagian Yang Hilang."
Bahkan
sebelumnya, ketika aku melihat default audio programnya (masih tanpa
mendengarkan audionya), aku menemukan playcount untuk file yang satu ini. Aku
bertanya pada orang-orang penyuka audio secara online dengan harapan dapat
memecahkan teka-teki ini. Mereka memberikanku software khusus yang bisa
menganalisa audio secara real time dan itu adalah itu salah satu cara untuk
memecahkannya. Video ini (video yang dimaksud) adalah rekaman layarku yang aku
jalankan menggunakan software tersebut. Sampai hari ini saya belum mendengarkan
audio yang sebenarnya, karena aku terlalu sedih untuk menghadapi kenyataan
bahwa Anthony, sahabat terbaikku telah mati.
Tambahan:
Terakhir kali sang pemilik akun melakukan aktifitas adalah tahun 2009,
sementara tanggal video itu tertera jelas tahun 2010.
CREEPY PASTA - FORGOTTEN FOREST -
‘Klak!’
“Hei! Itu
coklat milikku!” teriak anak laki-laki berbadan kurus dan memakai kacamata,
Joan.
“Salahkan
saja dirimu yang membuat kita tersesat di hutan selama dua hari. Aku tidak
mengerti mengapa ibu memberiku adik seperti dirimu.” Sahut anak laki-laki
lainnya—Andrian—yang berbadan lebih besar dan tinggi dengan rambut model cepak
dan membawa ransel hijau lumut di punggungnya. Mulutnya kembali mengunyah
coklat batangan setelah ia menyelesaikan kalimatnya.
Joan
merengut, pandangannya dialihkan ke arah tanah.
“Maaf …
ini semua karena rasa penasaran yang menang dari kepatuhan akan peringatan ayah
dan ibu. Aku sendiri—“ suaranya terhenti seketika. Ia melihat ke arah batu
besar di hadapan mereka. Batu besar yang sekiranya sudah mereka lewati tiga
kali sejak kemarin.
“Sial!”
seru Andrian, yang sepertinya satu pikiran dengan Joan. “Hutan apa sebenarnya
ini! Apakah kita sudah pindah dari bumi dalam waktu 48 jam, hah?” Andrian tak
kuasa menahan emosinya. Perut lapar dengan persediaan makanan yang semakin
menipis. Hutan aneh yang seakan tak ada jalan keluar. Semua berpadu dalam
keharmonisan emosi yang membuat dirinya geram. Konyol, hanya itulah yang ia
pikirkan. Sebagai anak yang selalu mendapat beasiswa di sekolahnya, ia membenci
hal-hal irasional.
Mereka
terus berjalan, dengan bekal kompas yang sepertinya rusak. Andrian memeriksa
kembali handphonenya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kepemilikan sinyal.
Benar-benar beruntung, batin Andrian.
Joan
melihat ke sekitar. Hanya ada pohon-pohon tinggi, bebatuan besar, dan tanah
yang dipijaknya. Ia bahkan tidak mengetahui jenis-jenis dari pohon besar itu.
Sesungguhnya, Joan dan Andrian bergabung dengan klub pecinta alam, tapi bahkan
mereka tidak mengetahui, alam apa yang sekarang sedang mereka pijak.
Ini
memang kesalahan besar, pikir Joan. Seharusnya ia tidak menyepelekan nasihat
orang tuanya. Seharusnya ia juga tidak memaksa Andrian menuruti keinginan di
hari ulang tahunnya itu. Yeah, kemarin adalah hari ulang tahun Joan.
Joan
menyesal karena telah membohongi orang tuanya. Ia tahu, dirinya adalah anak
paling nakal sejagat raya. Ia berkata akan mengikuti kegiatan dari klub pecinta
alam di sekolah mereka, namun pada kenyataannya, kegiatan itu tidak sepenuhnya
benar. Ia hanya ingin pergi ke tempat yang seumur hidupnya selalu dilarang oleh
orang tuanya. Tempat itu bernama “Hutan Lupa”. Rumor hanyalah rumor, pikir
Joan. Belum tentu rumor yang dikatakan orang lain adalah benar. Untuk alasan
itu, ia membuktikannya sendiri.
Kakak
beradik itu berjalan tanpa tahu arah. Joan beberapa kali meminta untuk
beristirahat dikarenakan punggungnya terasa sakit.
“Kau
sudah membawa peralatan paling ringan!” bentak Andrian. “Jangan manja, lihat
saja tas punggungku, ukurannya 3 kali lipat dibandingkan kau.” Andrian berputar
untuk menunjukkan tas berisi peralatan kemah, termasuk tenda dan alas tidur.
Terlihat seperti punuk unta, pikir Joan menahan tawa. Tidak mungkin ia tertawa.
Tidak setelah ia berkali-kali membuat ulah yang melibatkan Andrian dan
membuatnya kerepotan.
“Tunggu!”
raut wajah Joan terlihat serius sekarang. “Aku mendengar sesuatu … seperti …
air?” Joan sendiri meragukan pendengarannya, namun di hutan yang terasa semakin
gelap ini, panca indra adalah senjata utama untuk bertahan.
Joan
mulai berlari, mencari di mana titik suara tersebut kian terdengar, Andrian
juga secara tak sadar mengikuti Joan.
Mereka
terus berlari, tanpa berbicara sepatah kata pun, hingga pemandangan menyajikan
sebuah danau.
Danau
biru, dengan air terjun di sisinya. Bebatuan besar dan … beberapa sosok yang
membuat kedua kakak beradik itu menelan ludah.
Kakak
beradik itu berhenti serentak, Joan tertegun, dan bergerak mundur. Seketika itu
pula, sosok-sosok tadi melihat ke arah mereka.
Bagi
Joan, sosok itu tampak seperti putri duyung—dengan tubuh bagian kepala hingga
perut yang menyerupai sosok wanita berambut panjang serta tubuh bagian bawah
yang menyerupai ekor ikan berbias cahaya sehingga menimbulkan kemilau pelangi
di sisiknya.
Namun
Joan menyadari, ada yang aneh dari aura mereka. Tepatnya, raut wajah mereka
yang misterius. Sementara di belakang Joan, Andrian mulai maju perlahan.
Salah
satu dari putri duyung tadi, mulai membuka mulutnya, mengeluarkan nyanyian yang
merdu. Sangat merdu dan indah. Suara itu membuat Joan dan Andrian terpana,
mereka mulai bergerak maju.
Joan dan
Andrian seakan tidak sadar dengan pergerakan mereka. Terutama Joan, ia tidak
sadar bahwa ada akar besar yang mencuat dari tanah. Joan maju perlahan, namun
akar besar itu membuatnya tersandung dan jatuh.
Joan yang
tersungkur mencium tanah, mendongakkan kepala dan membetulkan letak
kacamatanya. Kesadarannya mulai kembali, ia tahu sebuah kisah tentang putri
duyung yang membuatnya lekas menutup telinga.
“HEY!
ANDRIAN! SADAR!” Joan berteriak agar Andrian tidak terus berjalan dengan
tatapan kosong ke arah para putri duyung tadi. Ia berusaha bangkit sambil tetap
menutup telinga. Sangat sulit, sampai akhirnya ia berhasil. Segera ia berusaha
berlari ke arah Andrian, mencoba untuk menarik saudaranya kembali, namun ia menyadari
bahwa separuh tubuh Andrian sudah berada di dalam air danau.
“Sial!”
pekiknya, saat melihat salah satu dari putri duyung tadi menghampiri Andrian.
Putri
duyung yang sedari tadi bernyanyi kini sudah menghentikan nyanyiannya, dan ikut
menghampiri tubuh Andrian yang separuh sadar.
Sementara
putri duyung yang sudah berada tepat di hadapan Andrian, meraih tubuh Andrian,
dan memeluknya. Tak lama, putri duyung tadi tersenyum, memperlihatkan gigi-gigi
runcing dan lekas menggigit leher Andrian.
“Orghhh!”
Andrian seakan kembali sadar, ia mencoba bergerak saat menyadari sudah ada
empat putri duyung yang mengepungnya.
Joan
merasa kakinya sangat lemas. Ia mundur perlahan dan berlari menjauh dari danau
tadi. Tak sadar, air matanya perlahan menetes. Joan terus berlari, dan beberapa
kali terjatuh karena tersandung akar pohon atau bebatuan. Ia berlari. Terus
berlari tanpa arah, hanya mengandalkan instingnya.
Sampai
instingnya membawa tubuhnya ke perbatasan hutan, di pinggir jalan raya.
“Aku
selamat!” teriaknya senang diiringi rasa bersalah. Ia mengenal jalan raya ini.
Tidak jauh dari jalan raya akan ada terminal bus, dan dirinya bisa sampai di
rumah dengan selamat. Yeah, hanya dia yang selamat.
***
Selama di
dalam bus, Joan berpikir keras. Ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikan
kejadian mengerikan yang menimpa saudaranya itu. Orang tuanya pasti akan marah
besar, terlebih kecewa karena dibohongi. Hukuman urusan belakangan, pikir Joan.
Ia harus memberi tahu rahasia “Hutan Lupa” kepada masyarakat.
Joan
bersiap untuk berdiri dari duduknya. Pemberhentian di depan kompleks dirinya
tinggal sudah dekat.
***
Joan
berdiri di depan pintu rumahnya, menekan bel berkali-kali, namun tidak ada
jawaban. ‘Apakah mereka sedang ada urusan?’ batin Joan, menenangkan diri.
Hari
sudah malam dan lampu rumah menyala terang. Mungkinkah orang tua Joan belum
pulang? Joan kerap menekan bel sampai terdengar bunyi ‘Klek’ dari gagang pintu
yang diputar.
Adalah
ayahnya yang menyambut Joan dengan wajah bingung.
“Maaf,
ada keperluan apa?” tanya laki-laki berambut putih yang menggunakan piama warna
putih.
“Apa yang
kau katakan, Dad? Aku tahu kau akan marah soal ini, tapi setidaknya biarkan aku
memberi penjelasan …,” Joan tergagap saat mendapati tingkah laku aneh dari
ayahnya.
“Siapa
itu, Sayang?” tanya seorang wanita yang juga memakai piama tidur berwarna
putih. Ia berjalan mendekat ke pintu.
“Entahlah,
anak ini … hei! Siapa tadi yang kau panggil Dad, hah? Apa kau sudah gila?”
Joan
tidak bisa menyembunyikan kekalutan di wajahnya. “Tapi … hei, Mom, Dad, ini
aku, Joan, putra kalian!”
“Kau
menghina kami, hah? Apa kau mengejek aku dan istriku karena tidak mempunyai
seorang anak pun di usia setua ini? Persetan kau gelandangan! Pergi sana!” itu
ucapan terakhir dari pria yang dipanggil Dad oleh Joan, sebelum ia membanting
pintunya.
Pintu
terbuka lagi, menampakkan wajah wanita berbalut piama tadi. “Sebaiknya kau
cepat pergi, dia memang agak sensitif akhir-akhir ini. Cepatlah, sebelum dia
memanggil polisi,” ucapnya sebelum menutup pintu kembali.
Joan
tidak bisa berkata-kata. Ia bingung, takut, sekaligus kalut. Terlebih ia harus
mencari cara sekarang. Mencari cara agar ia bisa memberitahu kepada dunia bahwa
legenda dari “Hutan Lupa” itu benar adanya. Bahwa jika seseorang bisa kembali
dengan selamat dari hutan itu, maka orang tersebut akan menghilang dari ingatan
semua orang yang dia kenal. Dengan kata lain, dilupakan.
Sekarang
Joan hanya berpikir untuk mencari cara memberi tahu ke semua orang tentang
realita dari “Hutan Lupa” itu.
Namun
sekarang ia bingung. Ia mencoba berpikir, apa rahasia dari “Hutan Lupa” itu?
Apa yang membuat orang lain dilupakan?
"Lagipula,
mengapa aku pergi ke hutan itu, sendirian?" kini Joan mulai berbicara
sendiri.
Rabu, 28 Januari 2015
CREEPY PASTA ~ LATE NIGHT TELEVISION (horror story)
It’s
Friday evening. Your parents are away for the weekend, and they left
you in charge of looking after your little brother while they’re gone.
At age seventeen, you’re more than capable of making sure a
nine-year-old doesn’t get himself killed. Even though it’s a quarter
until midnight, neither of you have hit the hay yet. At the moment,
you’re in your room catching up on some homework and he’s downstairs
watching television in the living room.
Your bedroom is directly above the living room, so you can always hear the TV through your thin floors. Every action movie, every reality show, every infomercial comes in loud and clear to you. It used to annoy the hell out of you, but you’ve grown accustomed to working with the sound in the background. It hardly ever gets so clamorous as to be distracting. If it does, you just descend your house’s only set of steps and ask whoever’s down there to lower the volume. Or, if you’re feeling lazy, you just holler your request at the floor. They can usually hear you.
Although you’re focused on your work, you’re quite aware of what your brother’s watching. You think it’s a vintage crime drama or something. At the moment you can hear one character, presumably a mob boss or something like that, bragging about how his gang is going to thrash their rivals in an upcoming brawl.
“We’re gonna pound them 'til they look like a newspaper: Black, white, and red all over!” Your brother roars with laughter at that one. Only a kid with his level of maturity could somehow milk a chuckle out of that overplayed pun.
“Ya got that right, Lupo!” one of his underlings exclaims.
Another character says, with a timid voice, “I ain’t sure if we should go through with this. Don’t really seem right to me.” More laughter from your brother.
“You got a problem with the plan?” the head mobster asks. You can tell he’s ticked.
At this point, you’re beginning to lose concentration on your work. You’re curious as to what this show or movie is about.
The other answers tentatively, “No, I just think we oughta—” His words are cut short by what sounds like a scuffle. There’s a shout, and then a succession of whams like someone is being bludgeoned with a baseball bat. Your brother giggles again. You have no idea what’s supposed to be funny.
The reluctant character—whoever’s being roughed up— keeps begging for mercy, but the one hurting him does not relent. The strikes just keep coming. The victim lets out one final plea, but falls silent after you hear something snap, like a broken bone. A sickening crunch immediately follows, accompanied by yet another bay of laughter. After clearing his throat, the leader speaks again. “Anybody else have any objections?” he asks.
No one does. In the silence, you can hear your brother snickering.
The boss speaks up again. “Well, glad that’s out of the way.” He sighs. “Aw, jeez, now I’m all bloody.” That line gets your brother in stitches. He must not get what’s happening, if he thinks that’s funny, you think.
“Gimme me a towel and a bucket of water, Frankie,” the honcho orders. “Then we can toss this piece ‘a crap out on the street. Even the rats gotta eat, am I right?” Your brother bursts out laughing like he’d just heard the funniest joke in history.
This time, your brother's hysterics continue for a little less than a minute, growing noisier by the second. This is getting weird.
You feel a little sick to your stomach. Your older sibling instincts kick in, and you realize your brother shouldn’t be watching some freaky murder flick so late. He shouldn’t be watching it at all, really. It’ll give him nightmares. Heck, if the thing is as brutal as it sounds, it’d probably keep you awake at night, too. Yelling at him to come up and go to bed yields no response. Stubborn kid. You try again. No reply. Perhaps he fell asleep on the couch. You decide to go downstairs and carry him up to his bed.
You push away from your desk and leave your room. The noise from the television stops abruptly as you walk down the hall towards the staircase. Downstairs, it’s dark. The TV’s not on. Your brother’s not on the couch in front of it. You call out his name. No one answers. He’s not in any of the rooms on the ground floor.
Suddenly alarmed, you sprint upstairs to his room and peek in. You find him snoring soundly next to his nightlight. He must’ve gone to sleep a while ago, since there’s no way he could have snuck past you from downstairs undetected. In any case, you’re relieved that he’s all right, and glad he wasn’t poisoning his mind with some horrific late-night televised drivel. Positively relieved, until you realize that there’s no way he could have been watching the television only a few moments ago.
An icy chill runs down your spine. You hear laughter behind you; it’s that same laughter from downstairs that you'd assumed belonged to your brother. Now it is much, much closer.
Your bedroom is directly above the living room, so you can always hear the TV through your thin floors. Every action movie, every reality show, every infomercial comes in loud and clear to you. It used to annoy the hell out of you, but you’ve grown accustomed to working with the sound in the background. It hardly ever gets so clamorous as to be distracting. If it does, you just descend your house’s only set of steps and ask whoever’s down there to lower the volume. Or, if you’re feeling lazy, you just holler your request at the floor. They can usually hear you.
Although you’re focused on your work, you’re quite aware of what your brother’s watching. You think it’s a vintage crime drama or something. At the moment you can hear one character, presumably a mob boss or something like that, bragging about how his gang is going to thrash their rivals in an upcoming brawl.
“We’re gonna pound them 'til they look like a newspaper: Black, white, and red all over!” Your brother roars with laughter at that one. Only a kid with his level of maturity could somehow milk a chuckle out of that overplayed pun.
“Ya got that right, Lupo!” one of his underlings exclaims.
Another character says, with a timid voice, “I ain’t sure if we should go through with this. Don’t really seem right to me.” More laughter from your brother.
“You got a problem with the plan?” the head mobster asks. You can tell he’s ticked.
At this point, you’re beginning to lose concentration on your work. You’re curious as to what this show or movie is about.
The other answers tentatively, “No, I just think we oughta—” His words are cut short by what sounds like a scuffle. There’s a shout, and then a succession of whams like someone is being bludgeoned with a baseball bat. Your brother giggles again. You have no idea what’s supposed to be funny.
The reluctant character—whoever’s being roughed up— keeps begging for mercy, but the one hurting him does not relent. The strikes just keep coming. The victim lets out one final plea, but falls silent after you hear something snap, like a broken bone. A sickening crunch immediately follows, accompanied by yet another bay of laughter. After clearing his throat, the leader speaks again. “Anybody else have any objections?” he asks.
No one does. In the silence, you can hear your brother snickering.
The boss speaks up again. “Well, glad that’s out of the way.” He sighs. “Aw, jeez, now I’m all bloody.” That line gets your brother in stitches. He must not get what’s happening, if he thinks that’s funny, you think.
“Gimme me a towel and a bucket of water, Frankie,” the honcho orders. “Then we can toss this piece ‘a crap out on the street. Even the rats gotta eat, am I right?” Your brother bursts out laughing like he’d just heard the funniest joke in history.
This time, your brother's hysterics continue for a little less than a minute, growing noisier by the second. This is getting weird.
You feel a little sick to your stomach. Your older sibling instincts kick in, and you realize your brother shouldn’t be watching some freaky murder flick so late. He shouldn’t be watching it at all, really. It’ll give him nightmares. Heck, if the thing is as brutal as it sounds, it’d probably keep you awake at night, too. Yelling at him to come up and go to bed yields no response. Stubborn kid. You try again. No reply. Perhaps he fell asleep on the couch. You decide to go downstairs and carry him up to his bed.
You push away from your desk and leave your room. The noise from the television stops abruptly as you walk down the hall towards the staircase. Downstairs, it’s dark. The TV’s not on. Your brother’s not on the couch in front of it. You call out his name. No one answers. He’s not in any of the rooms on the ground floor.
Suddenly alarmed, you sprint upstairs to his room and peek in. You find him snoring soundly next to his nightlight. He must’ve gone to sleep a while ago, since there’s no way he could have snuck past you from downstairs undetected. In any case, you’re relieved that he’s all right, and glad he wasn’t poisoning his mind with some horrific late-night televised drivel. Positively relieved, until you realize that there’s no way he could have been watching the television only a few moments ago.
An icy chill runs down your spine. You hear laughter behind you; it’s that same laughter from downstairs that you'd assumed belonged to your brother. Now it is much, much closer.
Langganan:
Postingan (Atom)