Pages

Senin, 16 Februari 2015

CREEPY PASTA - HERE YOU GO -


On the last night of my honeymoon, my husband Ricky and I were soaking in the beach resort’s outdoor hot tub. It was December, you see, and there were maybe only five rooms occupied in the whole resort. Although the fire pit was burning hot and bright one lot over, no one but us was outside. My new husband and I felt ballsy and awesome and grown-up for braving the near-freezing temperature to relax in the hot tub.
“This is so deluxe,” I said on a long sigh. I sat against a jet and let it pummel my lower back.
“I know,” said Ricky, stretching his arms out behind us and craning his head toward the sky. “You can see every star up there. You don’t see that in the city.”
A gust blew over the hot tub and whirled the steam around, creating mini tornados. On the other side of the dunes behind us the ocean slammed against the shore and hissed as it receded. I smiled, blissful.
“Our friends are going to be so jealous when we tell them about this,” I said. “I wish we could get a picture of us in this thing so I could post it on Facebook.”
“Yeah, yeah,” was Ricky’s absent-minded reply. “But we don’t have our camera or our phones or anything out here with us though, so…” My husband didn’t care to show off like I did.
“Yeah.” I sat silent for a moment. “I might run back to the room really quick to get my phone.”
“No. Nope.” He put a hand on my arm. “We’re on our honeymoon. Not to mention a much-needed vacation. We promised we were going to cut ourselves off from the world for the week, didn’t we?”
“Meh,” I said in weak agreement.
“Right. Let our friends use their imaginations when we tell them about it. And let us enjoy this moment. We’ll only go on our honeymoon once.”
I sighed and sat back against his outstretched arm. “All right. Right. You’re right.” I closed my eyes. We stayed out there, not talking, until the timer for the jets went off, and then we scurried back into the warm beacon of our building.
The next morning, after we’d been awake for a while, Ricky noticed something square poking in under our door. Thinking it was the bill of the balance for our stay, he went over to retrieve it.
“What’s the damage?” I called over. He didn’t respond for several minutes. “That bad, huh?” I asked, grinning.
He turned and walked over to me. His expression was disturbed and he had gone pale.
“What?” I asked. “What’s wrong?”
He was holding a Polaroid picture of us from the night before. On the white part at the bottom, scrawled in black Sharpie, were the words HERE YOU GO.

It was taken from behind.

CREEPY PASTA - LAVENDER TOWN -


Aku bertemu teman terbaikku di sekolah dasar. Kami berdua membawa gameboy kami ke sekolah, bermain dan duduk bersama saat makan siang. Aku mempunyai game versi Blue dengan Venusaur sebagai Starter, sedangkan dia versi Red dengan Charizard sebagai Starter. Aku dan dia bertanding pokemon setiap kali kita sempat dan kami menjadi sahabat baik karenanya. Tahun demi tahun berlalu, kami terus bermain pokemon, bahkan sampai SMU. Sepanjang semua generasi pokemon yang pernah kami lalui, pertarungan pokemon tak pernah membuat kami bosan.

Ketika kami lulus dari SMU, kami harus berpisah. Kami tidak berkomunikasi banyak setelah itu karena masing-masing dari kami memiliki kehidupan yang sibuk seperti mengikuti kuliah dan kegiatan lainnya. Aku tidak pernah berfikir kami akan menjalin kembali persahabatan seperti dulu. Di tahun 2007, game Pokemon seri Diamond & Pearl dirilis, dan kami kembali menikmati 2 seri baru tersebut. Kami bertarung dan berbicara melalui Wi-Fi hampir setiap hari selama beberapa minggu setelah game tersebut dirilis.

Temanku mengatakan bahwa ia berencana memainkan versi lama dari game Pokemon Red, karena sekitar 3 bulan setelah Diamond & Pearl dirilis kami sudah tidak bermain versi D&P sebanyak saat setelah dirilis. Saat aku bertanya mengapa ia ingin memainkan versi Red, ia menjawab, "Aku tidak tahu, mungkin aku akan menemukan sesuatu yang belum pernah ditemukan."

Meskipun aku enggan untuk memainkan kembali versi Blue dengan dia, ia tetap memainkan versi Red. Setelah ia memulai perjalanannya memainkan lagi game versi Red, aku tidak pernah berbicara dengannya lagi. Tiga minggu kemudian, aku menerima telepon dari orang tuanya. Beliau mengatakan sahabatku telah meninggal dunia. Meskipun tidak pernah memiliki masalah serupa, sebelum meninggal temanku itu sering mengalami kejang intens. Sampai suatu saat, teman seasramanya menemukan ia tergeletak di tanah, tak bernyawa , dan anehnya memakai headphone favoritnya.

Aku secepatnya langsung menghadiri pemakaman temanku. Teman seasramanya, yang kebetulan menghadiri pemakamannya juga, memberitahuku bahwa beberapa hari sebelum tragedi tersebut, temanku menjadi tergila-gila dengan Lavender Town dan musiknya. Dari dulu, sahabatku memang bercita - cita menjadi insinyur suara setelah lulus dan ia memang mempunyai berbagai keterampilan di bidang audio editing.

~Flashback~
Setelah ia menemukan kota Lavender Town, ia mengambil audionya (Lavender Theme) dan memasukkannya ke komputer untuk mulai bereksperimen dengan itu. Menariknya, ia membual tentang menemukan sobekan audio langka dari music Lavender Town yang dimainkannya di versi eksklusif untuk Jepang, yaitu Pokemon Green. Ia mengatakan pada teman seasramanya, "Frekuensi dalam lagu ini berbeda, mereka (frekuensinya) berbaur dengan suatu cara yang khusus , tapi ada sesuatu yang hilang."
~End Of Flashback~

Aku memiliki kesempatan mengecek komputernya untuk terakhir kalinya. Aku melihat Recent Items, dan di daftar paling atas tertuliskan "Lavender.wav". Ada juga beberapa foto kami bersama, kedua file tersebut saya salin ke Flash Drive saya.

Diriku masih dinaungi kesedihan atas kematian sahabat saya, hingga saya masih mengabaikan audio tersebut (Lavender.wav) sampai beberapa minggu sebelum menulis ini. Akhirnya aku memutuskan untuk menelusuri kembali apa yang telah terjadi. Didorong oleh keinginanku untuk mengetahui penyebab kematiannya, aku membuka dialog box untuk file audio, tanpa mendengarkan file audionya. Di bagian komentar dari metadata, temanku menulis, "Nada Binaural, aku menambahkan frekuensi yang diperlukan, aku tau mengapa kota Lavender Town begitu sedih, dan aku tau Bagian Yang Hilang."

Bahkan sebelumnya, ketika aku melihat default audio programnya (masih tanpa mendengarkan audionya), aku menemukan playcount untuk file yang satu ini. Aku bertanya pada orang-orang penyuka audio secara online dengan harapan dapat memecahkan teka-teki ini. Mereka memberikanku software khusus yang bisa menganalisa audio secara real time dan itu adalah itu salah satu cara untuk memecahkannya. Video ini (video yang dimaksud) adalah rekaman layarku yang aku jalankan menggunakan software tersebut. Sampai hari ini saya belum mendengarkan audio yang sebenarnya, karena aku terlalu sedih untuk menghadapi kenyataan bahwa Anthony, sahabat terbaikku telah mati.

Tambahan: Terakhir kali sang pemilik akun melakukan aktifitas adalah tahun 2009, sementara tanggal video itu tertera jelas tahun 2010.

CREEPY PASTA - FORGOTTEN FOREST -



‘Klak!’

“Hei! Itu coklat milikku!” teriak anak laki-laki berbadan kurus dan memakai kacamata, Joan.

“Salahkan saja dirimu yang membuat kita tersesat di hutan selama dua hari. Aku tidak mengerti mengapa ibu memberiku adik seperti dirimu.” Sahut anak laki-laki lainnya—Andrian—yang berbadan lebih besar dan tinggi dengan rambut model cepak dan membawa ransel hijau lumut di punggungnya. Mulutnya kembali mengunyah coklat batangan setelah ia menyelesaikan kalimatnya.

Joan merengut, pandangannya dialihkan ke arah tanah.

“Maaf … ini semua karena rasa penasaran yang menang dari kepatuhan akan peringatan ayah dan ibu. Aku sendiri—“ suaranya terhenti seketika. Ia melihat ke arah batu besar di hadapan mereka. Batu besar yang sekiranya sudah mereka lewati tiga kali sejak kemarin.

“Sial!” seru Andrian, yang sepertinya satu pikiran dengan Joan. “Hutan apa sebenarnya ini! Apakah kita sudah pindah dari bumi dalam waktu 48 jam, hah?” Andrian tak kuasa menahan emosinya. Perut lapar dengan persediaan makanan yang semakin menipis. Hutan aneh yang seakan tak ada jalan keluar. Semua berpadu dalam keharmonisan emosi yang membuat dirinya geram. Konyol, hanya itulah yang ia pikirkan. Sebagai anak yang selalu mendapat beasiswa di sekolahnya, ia membenci hal-hal irasional.

Mereka terus berjalan, dengan bekal kompas yang sepertinya rusak. Andrian memeriksa kembali handphonenya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kepemilikan sinyal. Benar-benar beruntung, batin Andrian.

Joan melihat ke sekitar. Hanya ada pohon-pohon tinggi, bebatuan besar, dan tanah yang dipijaknya. Ia bahkan tidak mengetahui jenis-jenis dari pohon besar itu. Sesungguhnya, Joan dan Andrian bergabung dengan klub pecinta alam, tapi bahkan mereka tidak mengetahui, alam apa yang sekarang sedang mereka pijak.
Ini memang kesalahan besar, pikir Joan. Seharusnya ia tidak menyepelekan nasihat orang tuanya. Seharusnya ia juga tidak memaksa Andrian menuruti keinginan di hari ulang tahunnya itu. Yeah, kemarin adalah hari ulang tahun Joan.

Joan menyesal karena telah membohongi orang tuanya. Ia tahu, dirinya adalah anak paling nakal sejagat raya. Ia berkata akan mengikuti kegiatan dari klub pecinta alam di sekolah mereka, namun pada kenyataannya, kegiatan itu tidak sepenuhnya benar. Ia hanya ingin pergi ke tempat yang seumur hidupnya selalu dilarang oleh orang tuanya. Tempat itu bernama “Hutan Lupa”. Rumor hanyalah rumor, pikir Joan. Belum tentu rumor yang dikatakan orang lain adalah benar. Untuk alasan itu, ia membuktikannya sendiri.

Kakak beradik itu berjalan tanpa tahu arah. Joan beberapa kali meminta untuk beristirahat dikarenakan punggungnya terasa sakit.
“Kau sudah membawa peralatan paling ringan!” bentak Andrian. “Jangan manja, lihat saja tas punggungku, ukurannya 3 kali lipat dibandingkan kau.” Andrian berputar untuk menunjukkan tas berisi peralatan kemah, termasuk tenda dan alas tidur. Terlihat seperti punuk unta, pikir Joan menahan tawa. Tidak mungkin ia tertawa. Tidak setelah ia berkali-kali membuat ulah yang melibatkan Andrian dan membuatnya kerepotan.

“Tunggu!” raut wajah Joan terlihat serius sekarang. “Aku mendengar sesuatu … seperti … air?” Joan sendiri meragukan pendengarannya, namun di hutan yang terasa semakin gelap ini, panca indra adalah senjata utama untuk bertahan.

Joan mulai berlari, mencari di mana titik suara tersebut kian terdengar, Andrian juga secara tak sadar mengikuti Joan.
Mereka terus berlari, tanpa berbicara sepatah kata pun, hingga pemandangan menyajikan sebuah danau.

Danau biru, dengan air terjun di sisinya. Bebatuan besar dan … beberapa sosok yang membuat kedua kakak beradik itu menelan ludah.

Kakak beradik itu berhenti serentak, Joan tertegun, dan bergerak mundur. Seketika itu pula, sosok-sosok tadi melihat ke arah mereka.
Bagi Joan, sosok itu tampak seperti putri duyung—dengan tubuh bagian kepala hingga perut yang menyerupai sosok wanita berambut panjang serta tubuh bagian bawah yang menyerupai ekor ikan berbias cahaya sehingga menimbulkan kemilau pelangi di sisiknya.

Namun Joan menyadari, ada yang aneh dari aura mereka. Tepatnya, raut wajah mereka yang misterius. Sementara di belakang Joan, Andrian mulai maju perlahan.

Salah satu dari putri duyung tadi, mulai membuka mulutnya, mengeluarkan nyanyian yang merdu. Sangat merdu dan indah. Suara itu membuat Joan dan Andrian terpana, mereka mulai bergerak maju.

Joan dan Andrian seakan tidak sadar dengan pergerakan mereka. Terutama Joan, ia tidak sadar bahwa ada akar besar yang mencuat dari tanah. Joan maju perlahan, namun akar besar itu membuatnya tersandung dan jatuh.

Joan yang tersungkur mencium tanah, mendongakkan kepala dan membetulkan letak kacamatanya. Kesadarannya mulai kembali, ia tahu sebuah kisah tentang putri duyung yang membuatnya lekas menutup telinga.

“HEY! ANDRIAN! SADAR!” Joan berteriak agar Andrian tidak terus berjalan dengan tatapan kosong ke arah para putri duyung tadi. Ia berusaha bangkit sambil tetap menutup telinga. Sangat sulit, sampai akhirnya ia berhasil. Segera ia berusaha berlari ke arah Andrian, mencoba untuk menarik saudaranya kembali, namun ia menyadari bahwa separuh tubuh Andrian sudah berada di dalam air danau.

“Sial!” pekiknya, saat melihat salah satu dari putri duyung tadi menghampiri Andrian.

Putri duyung yang sedari tadi bernyanyi kini sudah menghentikan nyanyiannya, dan ikut menghampiri tubuh Andrian yang separuh sadar.

Sementara putri duyung yang sudah berada tepat di hadapan Andrian, meraih tubuh Andrian, dan memeluknya. Tak lama, putri duyung tadi tersenyum, memperlihatkan gigi-gigi runcing dan lekas menggigit leher Andrian.

“Orghhh!” Andrian seakan kembali sadar, ia mencoba bergerak saat menyadari sudah ada empat putri duyung yang mengepungnya.

Joan merasa kakinya sangat lemas. Ia mundur perlahan dan berlari menjauh dari danau tadi. Tak sadar, air matanya perlahan menetes. Joan terus berlari, dan beberapa kali terjatuh karena tersandung akar pohon atau bebatuan. Ia berlari. Terus berlari tanpa arah, hanya mengandalkan instingnya.

Sampai instingnya membawa tubuhnya ke perbatasan hutan, di pinggir jalan raya.

“Aku selamat!” teriaknya senang diiringi rasa bersalah. Ia mengenal jalan raya ini. Tidak jauh dari jalan raya akan ada terminal bus, dan dirinya bisa sampai di rumah dengan selamat. Yeah, hanya dia yang selamat.

***

Selama di dalam bus, Joan berpikir keras. Ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikan kejadian mengerikan yang menimpa saudaranya itu. Orang tuanya pasti akan marah besar, terlebih kecewa karena dibohongi. Hukuman urusan belakangan, pikir Joan. Ia harus memberi tahu rahasia “Hutan Lupa” kepada masyarakat.
Joan bersiap untuk berdiri dari duduknya. Pemberhentian di depan kompleks dirinya tinggal sudah dekat.

***

Joan berdiri di depan pintu rumahnya, menekan bel berkali-kali, namun tidak ada jawaban. ‘Apakah mereka sedang ada urusan?’ batin Joan, menenangkan diri.

Hari sudah malam dan lampu rumah menyala terang. Mungkinkah orang tua Joan belum pulang? Joan kerap menekan bel sampai terdengar bunyi ‘Klek’ dari gagang pintu yang diputar.

Adalah ayahnya yang menyambut Joan dengan wajah bingung.

“Maaf, ada keperluan apa?” tanya laki-laki berambut putih yang menggunakan piama warna putih.

“Apa yang kau katakan, Dad? Aku tahu kau akan marah soal ini, tapi setidaknya biarkan aku memberi penjelasan …,” Joan tergagap saat mendapati tingkah laku aneh dari ayahnya.

“Siapa itu, Sayang?” tanya seorang wanita yang juga memakai piama tidur berwarna putih. Ia berjalan mendekat ke pintu.

“Entahlah, anak ini … hei! Siapa tadi yang kau panggil Dad, hah? Apa kau sudah gila?”

Joan tidak bisa menyembunyikan kekalutan di wajahnya. “Tapi … hei, Mom, Dad, ini aku, Joan, putra kalian!”

“Kau menghina kami, hah? Apa kau mengejek aku dan istriku karena tidak mempunyai seorang anak pun di usia setua ini? Persetan kau gelandangan! Pergi sana!” itu ucapan terakhir dari pria yang dipanggil Dad oleh Joan, sebelum ia membanting pintunya.

Pintu terbuka lagi, menampakkan wajah wanita berbalut piama tadi. “Sebaiknya kau cepat pergi, dia memang agak sensitif akhir-akhir ini. Cepatlah, sebelum dia memanggil polisi,” ucapnya sebelum menutup pintu kembali.

Joan tidak bisa berkata-kata. Ia bingung, takut, sekaligus kalut. Terlebih ia harus mencari cara sekarang. Mencari cara agar ia bisa memberitahu kepada dunia bahwa legenda dari “Hutan Lupa” itu benar adanya. Bahwa jika seseorang bisa kembali dengan selamat dari hutan itu, maka orang tersebut akan menghilang dari ingatan semua orang yang dia kenal. Dengan kata lain, dilupakan.

Sekarang Joan hanya berpikir untuk mencari cara memberi tahu ke semua orang tentang realita dari “Hutan Lupa” itu.
Namun sekarang ia bingung. Ia mencoba berpikir, apa rahasia dari “Hutan Lupa” itu? Apa yang membuat orang lain dilupakan?

"Lagipula, mengapa aku pergi ke hutan itu, sendirian?" kini Joan mulai berbicara sendiri.

Rabu, 28 Januari 2015

CREEPY PASTA ~ LATE NIGHT TELEVISION (horror story)

It’s Friday evening. Your parents are away for the weekend, and they left you in charge of looking after your little brother while they’re gone. At age seventeen, you’re more than capable of making sure a nine-year-old doesn’t get himself killed. Even though it’s a quarter until midnight, neither of you have hit the hay yet. At the moment, you’re in your room catching up on some homework and he’s downstairs watching television in the living room.
Your bedroom is directly above the living room, so you can always hear the TV through your thin floors. Every action movie, every reality show, every infomercial comes in loud and clear to you. It used to annoy the hell out of you, but you’ve grown accustomed to working with the sound in the background. It hardly ever gets so clamorous as to be distracting. If it does, you just descend your house’s only set of steps and ask whoever’s down there to lower the volume. Or, if you’re feeling lazy, you just holler your request at the floor. They can usually hear you.
Although you’re focused on your work, you’re quite aware of what your brother’s watching. You think it’s a vintage crime drama or something. At the moment you can hear one character, presumably a mob boss or something like that, bragging about how his gang is going to thrash their rivals in an upcoming brawl.
“We’re gonna pound them 'til they look like a newspaper: Black, white, and red all over!” Your brother roars with laughter at that one. Only a kid with his level of maturity could somehow milk a chuckle out of that overplayed pun.
“Ya got that right, Lupo!” one of his underlings exclaims.
Another character says, with a timid voice, “I ain’t sure if we should go through with this. Don’t really seem right to me.” More laughter from your brother.
“You got a problem with the plan?” the head mobster asks. You can tell he’s ticked.
At this point, you’re beginning to lose concentration on your work. You’re curious as to what this show or movie is about.
The other answers tentatively, “No, I just think we oughta—” His words are cut short by what sounds like a scuffle. There’s a shout, and then a succession of whams like someone is being bludgeoned with a baseball bat. Your brother giggles again. You have no idea what’s supposed to be funny.
The reluctant character—whoever’s being roughed up— keeps begging for mercy, but the one hurting him does not relent. The strikes just keep coming. The victim lets out one final plea, but falls silent after you hear something snap, like a broken bone. A sickening crunch immediately follows, accompanied by yet another bay of laughter. After clearing his throat, the leader speaks again. “Anybody else have any objections?” he asks.
No one does. In the silence, you can hear your brother snickering.
The boss speaks up again. “Well, glad that’s out of the way.” He sighs. “Aw, jeez, now I’m all bloody.” That line gets your brother in stitches. He must not get what’s happening, if he thinks that’s funny, you think.
“Gimme me a towel and a bucket of water, Frankie,” the honcho orders. “Then we can toss this piece ‘a crap out on the street. Even the rats gotta eat, am I right?” Your brother bursts out laughing like he’d just heard the funniest joke in history.
This time, your brother's hysterics continue for a little less than a minute, growing noisier by the second. This is getting weird.
You feel a little sick to your stomach. Your older sibling instincts kick in, and you realize your brother shouldn’t be watching some freaky murder flick so late. He shouldn’t be watching it at all, really. It’ll give him nightmares. Heck, if the thing is as brutal as it sounds, it’d probably keep you awake at night, too. Yelling at him to come up and go to bed yields no response. Stubborn kid. You try again. No reply. Perhaps he fell asleep on the couch. You decide to go downstairs and carry him up to his bed.
You push away from your desk and leave your room. The noise from the television stops abruptly as you walk down the hall towards the staircase. Downstairs, it’s dark. The TV’s not on. Your brother’s not on the couch in front of it. You call out his name. No one answers. He’s not in any of the rooms on the ground floor.
Suddenly alarmed, you sprint upstairs to his room and peek in. You find him snoring soundly next to his nightlight. He must’ve gone to sleep a while ago, since there’s no way he could have snuck past you from downstairs undetected. In any case, you’re relieved that he’s all right, and glad he wasn’t poisoning his mind with some horrific late-night televised drivel. Positively relieved, until you realize that there’s no way he could have been watching the television only a few moments ago.
An icy chill runs down your spine. You hear laughter behind you; it’s that same laughter from downstairs that you'd assumed belonged to your brother. Now it is much, much closer.